Selebritisia, Jakarta Film garapan Entelekey Media Indonesia dan Relate Films ini mengisahkan tradisi kuno pernikahan arwah yang masih hidup dalam budaya Tionghoa. Pernikahan Arwah (The Butterfly House) mengisahkan Salim dan Tasya, pasangan yang diteror arwah leluhur keluarga Salim.
Paul menekankan bahwa meskipun berlatar budaya Tionghoa, cerita film ini bersifat universal. Ia menilai, film ini tentang kisah cinta sepasang kekasih, yang kebetulan berasal dari keluarga Tionghoa. Namun, konflik yang mereka hadapi cukup relevan bagi siapa saja.
“Ada sisi emosional yang cukup kuat dalam film ini, tentang bagaimana kepercayaan leluhur bisa berbenturan dengan keinginan pribadi seseorang,” tuturnya.
Tim produksi juga sangat berhati-hati dalam pengambilan adegan ritual. Mantera berbahasa Mandarin yang digunakan dalam film ini berasal dari tradisi asli, namun tidak diucapkan secara lengkap.
“Kami sangat hati-hati, jadi manteranya nggak secara lengkap diucapkan, selalu diwanti-wanti jangan seluruh mantera diucapkan,” kata Paul menambahkan.
Kisah film ini bermula saat Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani) memutuskan untuk menggelar sesi foto pra-pernikahan di rumah keluarga Salim setelah bibinya meninggal dunia. Namun, kedatangan mereka membangunkan arwah leluhur yang meninggal di masa pendudukan Jepang.
Selain harus mengurus pemakaman bibinya, Salim terikat kewajiban membakar dupa setiap hari di sebuah altar misterius—sebuah ritual keluarga yang tak boleh dilanggar. Jika tidak, nyawanya akan terancam. Teror demi teror pun muncul. Tasya, yang tak ingin calon suaminya terjebak dalam tradisi ini, berusaha menguak misteri keluarga Salim.